Dialog merupakan strategi jitu menghadapi perbedaan yang seringkali menimbulkan konflik. Penting bagi setiap manusia untuk berdialog atau berdiskusi guna saling memahami menurut posisinya masing-masing. 

Situasi ini tidak hanya terjadi dalam hubungan antar agama, tetapi mengakar ke ruang lingkup lain, seperti politik, pendidikan, sosial, budaya, dan ekonomi. Dialog dan hubungannya dengan komunikasi antaragama memunculkan konsep dialog inter-religius (inter-religious dialogue).

Prof Nasarudin Umar dan Paus Fransiskus. Image by Kompas.com

Dialog inter-religius bertujuan menghubungkan manusia yang berbeda agama untuk saling memahami dengan cara berkomunikasi langsung, membangun mental humanis, dan perdamaian positif menurut posisi agamanya masing-masing. Dengan demikian, urgensitas dialog interreligius selain meredam konflik, dialog juga digunakan untuk merekonstruksi sikap saling percaya akibat isu atau konflik yang terjadi antarumat beragama.

Gerardette Philips (2016) dalam Melampaui Pluralisme menyatakan bahwa dialog inter-religius adalah seni berdialektika untuk mendapatkan kebenaran dalam diri orang lain. Dialog inter-religius bukan hanya saling menghormati bagaimana masing-masing berdoa dan menjalankan kehidupan. Namun, berusaha menyelesaikan problem terkait isu-isu universal pada masa kini, seperti hak kewarganegaraan, kebebasan beragama, kebebasan hati nurani, kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan lain sebagainya.

Gerakan ini mendapat respons positif dari berbagai negara. Merujuk pendapat Douglas R. Leonard (2015) dalam The Origins and Contemporary Approaches to Intra-Islamic and Inter-Religious Coexistence and Dialogue in Oman, Oman termasuk juga Saudi Arabia adalah negara pendukung dengan mengusung pendekatan koeksistensi kontemporer. Menurut Oddbjørn Leirvik (2011) dalam Philosophies of inter-religious dialogue: Practice in search of theory, Norwegia turut hadir menggunakan pendekatan dialog filosofis.

Sedangkan Malaysia dalam artikel berjudul Inter-Religious Dialogue: The Perspective of Malaysian Contemporary Muslim Thinkers, menggunakan istilah dialog intelektual atau dialog meja bundar, bahkan menurut mereka praktik dialog telah lama ada sebelum Nabi Muḥammad (Zain, Jaffary, dkk, 2014).

Penelitian mutakhir di Indonesia oleh Philips (2016) dalam Melampaui Pluralisme, menawarkan konsep Open integrity serta Imronudin (2021) menerbitkan desertasinya berjudul Pendidikan Inter-religius Perspektif Al Quran, yang menyatakan bahwa sebelumnya pada tahun 90-an, dialog antaragama di Indonesia telah diusung oleh Mukti Ali, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan lainnya.

Dengan demikian, perlu untuk membandingkan dialog inter-religius di Indonesia dan negara lain, dalam hal ini adalah Finlandia. Karena jika hidup tidak memiliki pembanding, maka akan berjalan di tempat saja dan tak ada motivasi untuk menjadi lebih baik lagi.

Dialog Inter-religius di Finlandia

Finlandia sebagaimana penelitian Camilla Ojala (2021) memiliki tingkat persentase homogenitas agama 70% dominasi gereja Lutheran dengan tingkat keaktifan secara religius yang tergolong rendah, apalagi untuk generasi muda. Di balik itu semua, sekularisasi masih menjadi tujuan masyarakatnya, pada akhirnya bersikap acuh terhadap agama dan keberagamaan.

Agama minoritas seperti Muslim malah memberi nafas segar bagi keberagamaan di Finlandia. Apalagi setelah berdirinya The National Forum for the Cooperation of Religions in Finland (CORE Forum). Forum ini berdampak pada meningkatnya dialog antaragama dan sebagai perangsang perdamaian dan kebebasan beragama. Selain itu, tingkat kesadaran yang tinggi menjadikan dialog antaragama dan perdamaian mengalami pergeseran dari segi praktikal.

Faktanya dalam Youth-led Interfaith Dialogue in Building Positive Peace: Case Study of Together for Finland karya Camilla Ojala dari University Helsinki, dialog antaragama di sana telah berkembang pesat, dari orientasi dialog sebagai peredam kekerasan, radikalisme, dan ekstrimisme berubah menjadi dialog konstruktif, menjadi kebutuhan dan urgensitas untuk meningkatkan mutual-understanding sosial pada masyarakat yang tidak lagi memiliki konflik.

Bahkan pemuka-pemuka Agama berhasil membumikan dialog antaragama di Finlandia sampai di tingkat kelas paling bawah dan berlanjut di komunitas yang berbeda-beda. Dari blusukan inilah lahir komunitas Together for Finland (TFF). Program ini menurut penelitian Camilla Ojala berorientasi pada pendidikan dan dialog antarbudaya, termasuk pendidikan perdamaian, dan dialog antaragama dengan metode story telling.

Anggota komunitas ini berusia 15-30 tahun dengan beragam latar belakang. Motif awal berdirinya kelompok ini adalah mendidik dan membimbing persoalan antaragama dan melawan xenophobia, rasisme, dan ekstremisme. TFF juga menyediakan story telling tentang lintas agama ke sekolah sekolah. Menurut mereka bahwa agama melindungi hak asasi manusia dan media keterhubungan pemberdayaan kaum muda menuju perdamaian dunia.

Selain itu, misi mereka adalah menciptakan pemahaman yang lebih dalam tentang "yang lain" dan menghilangkan kesalahpahaman dan prasangka di antara orang-orang yang berbeda. Anak-anak muda yang lebih sering dikerdilkan perannya justru mendapat kepercayaan di Finlandia.

Mereka percaya bahwa anak muda adalah target demografis utama untuk menerapkan perubahan yang langgeng. Yang terpenting adalah keterlibatan dan kepedulian mereka terhadap toleransi dan keberagaman diapresiasi dan diberikan panggung, dengan bukti wacana-wacana mereka tersalurkan sampai ke tingkat paling bawah tanpa prasangka-prasangka negatif yang membunuh gagasan dan gerakan mereka.

Dialog Inter-religius di Indonesia

Indonesia sepakat dengan keberadaan dialog antaragama, sebagaimana negara-negara lain mendukung ide ini, termasuk Finlandia di dalamnya. Ide dialog antaragama di bumi pertiwi bukanlah wacana baru, sebagaimana disebut di atas sudah ada sejak tahun 90-an. Namun, gagasan ini belum semuanya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Faktor penghalangnya adalah klaim kebenaran yang tidak ditanggapi secara bijak dari masing-masing kelompok menjadi hambatan yang berarti, termasuk faktor perbedaan dalam internal kelompok yang perlu diselesaikan sebelum melangkah lebih jauh. Masyarakat di Indonesia masih sering dan mudah terprovokasi, seperti persoalan dinamika politik yang tiada henti melibatkan identitas dan agama.

Belum lagi tentang konflik kekerasan Israel-Palestina, dan dominasi mayoritas dan minoritas. Akibatnya, masyarakat Indonesia over imajinasi tentang kelompok sosial bahwa yang berbeda adalah representasi buruk yang harus dilawan dan ditentang. 

Citra Muslim diklaim mempunyai pemikiran eksklusif, radikal, dan fundamentalis karena terkurung oleh kepercayaan bersifat dogmatis-ideologis. Sebaliknya, Barat, Yahudi terkesan power full dan mengganggu komunitas Muslim.

Dalam Islam Kosmopolitan karya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikatakan bahwa perlu kajian mendalam, proses, dan waktu untuk menghilangkan dominasi mayoritas dan minoritas untuk membangun citra dan perdamaian konstruktif di lapisan masyarakat, bukan hanya berdasarkan identitasnya, tetapi sebagai satu bangsa utuh berlandaskan kesetaraan.

Keseriusan Indonesia dengan gagasan ini diupayakan dengan hadirnya Religion 20 (R20) di Bali. Dalam situs resminya, para elite agama, ekonomi, dan politik dari negara G20 dan lainnya di seluruh dunia berkumpul membahas agama di abad ke-21 sebagai solusi bersama bukan sebagai sumber masalah.

Selain itu, mereka berdiskusi soal penggunaan identitas sebagai senjata, meredam kebencian, dan mempromosikan rasa hormat pada masyarakat yang berbeda budaya, agama, warna kulit serta membangun tatanan dunia yang harmonis berlandaskan kesetaraan seluruh manusia. 

Di event ini juga berkumpul para elite agama, ekonomi, politik dari negara G20 dan lainnya di seluruh dunia. Artinya, ada keseriusan untuk membumikan konsep dialog antaragama di bumi nusantara ini.

Dengan begitu, institusi keagamaan dan pendidikan mesti melakukan cara-cara masif untuk memberikan pemahaman kepada lapisan masyarakat yang belum terjamah dengan ide-ide tersebut, karena visi-misi tanpa eksekusi hanya akan menghasilkan halusinasi.

Kesimpulan

Finlandia dan Indonesia sama-sama sepakat dengan dialog antaragama sebagai solusi meredam konflik dan membangun toleransi positif. Dari sini akan terbentuk tatanan baru yang mampu mengentaskan isu-isu global, seperti kemiskinan, kekerasan, dan kebodohan.

Jika Finlandia mampu bergerak cepat dari model dialog sebagai peredam konflik ke arah perdamaian positif dengan komunitas-komunitas pemuda yang turun langsung ke institusi pendidikan-keagamaan, maka Indonesia masih menggunakan dialog untuk meredam konflik dan mengurangi paham fundamentalisme dan eksklusivisme.

Hal ini disebabkan konfrontasi internal dalam agama itu sendiri yang tidak bisa disikapi secara bijak oleh pemeluknya dan minimnya volunteer untuk terjun langsung ke lapisan bawah untuk mengedukasi cara beragama yang baik dan benar, sehingga dialog-dialog tersebut hanya melibatkan para elite, tidak pada lapisan bawah masyarakat.

Harapan terakhir ada pada institusi terkecil, yakni keluarga. Orangtua harus membekali anak-anak mereka pengetahuan untuk menghadapi masyarakat yang berbeda-beda.


*Artikel ini telah terbit di detiknews