Masih membahas kitab Al-Itqan fi 'Ulumil Qur'an, karya Jalaluddin Al-Suyuti (w.911H/1505M). Silahkan cek postingan sebelumnya agar lebih lengkap dan dapat memahami kajiannya.
Baca: https://rutinia.blogspot.com/2025/03/bagaimana-allah-swt-menurunkan-kitab.html
Imam al-Ashfahani (w.502H/1108M) berpendapat pada awal pembukaan tafsirnya “Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān,” bahwa para ulama ahlusunah waljamaah sepakat bahwa kalam Allah itu diturunkan, dan mereka berbeda pendapat tentang makna “al-inzal”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-inzal artinya “idzhar al-qira’ah” yaitu: menampakkan bacaan. Sebagian yang lain berkata bahwa maknanya adalah sesungguhnya Allah SWT telah menyampaikan kalam-Nya kepada Jibril, dan Jibril berada di langit di sebuah tempat yang tinggi, dan Allah mengajarkan qira’ah (cara membaca) kepadanya, kemudian Jibril menyampaikannya di bumi (kepada Muhammad saw.), dan dia turun di suatu tempat.
Baca: Tentang Bagaimana Al-Qur'an Turun: Sekaligus dan Bertahap? [2]
![]() |
Gambar hanya ilustrasi by: Detik.com |
Di dalam “at-tanzil” terdapat dua cara, salah satunya bahwa Nabi saw. telah berubah bentuk dari manusia ke malaikat, kemudian Nabi mengambil Al-Qur’an itu dari Jibril.
Cara yang kedua bahwa Jibril itu berubah bentuk dari malaikat ke
manusia, sehingga Rasul saw. mengambil Al-Qur’an itu darinya. Tetapi pendapat
yang pertama ini yang paling sulit (dan tidak mungkin) di antara kedua
pendapat.
Imam
ath-Thiby berpendapat: Kemungkinan turunnya Al-Qur’an kepada Nabi saw. itu
adalah (yang pertama) malaikat (Jibril) menerima Al- Qur’an dari Allah SWT
secara ruhani atau menghafalkannya dari “Lauh mahfudz”, kemudian Jibril
membawanya turun kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan kepadanya.
Imam
al-Qutub ar-Razi berkata di dalam kedua hasyiyah tafsir al-Kasysyaf, “Al-inzal”
secara bahasa berarti ‘al-iiwaa’ yang artinya menempatkan, juga berarti
menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua makna ini tidak ada dan tidak
terwujud dalam ucapan.
Ia
dipergunakan pada makna majazi (bukan hakiki), maka barangsiapa berkata bahwa
Al-Qur’an itu adalah makna (suatu nilai) yang ada (melekat) pada Dzat
Allah SWT maka diturunkannya Al-Qur’an itu mewujudkan kata-kata dan huruf-huruf
yang menunjukkan makna dan ditetapkannya di Lauh Mahfudz.
Sedangkan
siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah al-alfadz
(lafadz-lafadz yang diucapkan) maka diturunkannya semata-mata dan menetapkannya
di Lauh Mahfudz. Makna ini sesuai dengan suatu pemahaman bahwa Al-Qur’an itu
manqul (diambil) dari dua makna yang keduanya secara bahasa.
Mungkin
yang dimaksud ‘diturunkannya Al-Qur’an’ adalah ditetapkannya di langit
dunia setelah ditetapkan di Lauh Mahfudz, dan ini sesuai dengan makna yang
kedua, dan yang dimaksud dengan ‘diturunkannya kitab-kitab pada rasul-rasul’
adalah bahwa malaikat Jibril telah menerima kitab-kitab itu dari Allah secara
ruhani atau telah menghafalkannya dari Lauh Mahfudz, kemudian Jibil turun (ke
bumi) dengan membawa kitab-kitab itu kemudian menyampaikannya kepada para
rasul.
*****
Ulama
lainnya mengatakan bahwa pengertian ‘Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi saw.’ itu
ada tiga pendapat sebagai berikut:
- Bahwa yang dimaksud adalah lafadz dan maknanya, dan sesungguhnya Jibril telah menghafal Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz, kemudian turun (ke bumi) dengan membawa Al-Qur’an.
- Sesungguhnya Jibril turun membawa Al-Qur’an dengan makna- maknanya secara khusus, dan sesungguhnya Nabi saw. telah mengetahui makna-makna itu dan mengungkapkannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini berpegang pada dalil firman Allah SWT: ‘Nazala bihii ar-ruuhul amiin ‘alaa qalbika’ (QS. asy-Syu’ara: 193-194).
- Pendapat yang ketiga mengatakan bahwa Jibril telah menyampaikan Al- Qur’an ini kepada Nabi saw. secara makna dan dia mengungkapkan lafadz-lafadznya dengan bahasa Arab, dan sesungguhnya ahlus sama’ (penduduk langit/malaikat) itu membaca Al-Qur’an dengan bahasa Arab, kemudian Jibril membawa turun Al-Qur’an juga dengan bahasa Arab.
Menurut
imam Baihaqi berkata tentang makna firman Allah SWT: ‘innaa anzalnaahu fii
lailatil qadr’, bahwa maknanya adalah (wallaahu a’lam),
‘Sesungguhnya
Kami (Allah) telah memperdengarkan kepada malaikat (Jibril) dan memahamkan
Al-Qur’an itu kepadanya serta menurunkannya sesuai dengan apa yang ia
dengarkan. Dengan demikian maka Jibril telah membawa Al-Qur’an itu dari tempat
yang tertinggi ke tempat yang terendah.’
Abu
Syaamah berkata, ‘Makna seperti ini berlaku pada seluruh kata al-inzal yang
disandarkan pada Al-Qur’an atau pada sesuatu dari Al-Qur’an yang diperlukan
oleh ahlusunah yang meyakini keazalian Al-Qur’an (kalam Allah yang qadim), dan
Al-Qur‘an adalah sifat yang melekat pada Dzat Allah SWT.’”
Menurut
Al-Suyuti sendiri: Dalil yang memperkuat bahwa Jibril itu menerima Al-Qur’an
secara simaa’an (dengan mendengar langsung) adalah hadits yang dikeluarkan oleh
Imam Thabrani dari hadits Nawwas bin Sam’an, sebagai hadits marfu’ sebagai
berikut: “Apabila Allah berbicara dengan wahyu maka langit bergetar dengan
keras karena takut kepada Allah, dan apabila penduduk langit (malaikat) itu
mendengar kalam Allah maka mereka pingsan dan tunduk untuk bersujud.
Pertama
kali dari mereka yang mengangkat kepalanya adalah Jibril, kemudian Allah
membacakan wahyu kepadanya sesuai dengan yang diinginkan, hingga selesailah
ketika sampai pada malaikat Jibril atas malaikat yang lainnya. Setiap dia
melewati langit maka penduduknya (malaikat lainnya) bertanya, ‘Apa yang
dikatakan oleh Rabb kita?’ Jibril menjawab, ‘Kebenaran,’ maka selesailah Jibril
sesuai dengan perintah.”
Ibnu
Mardawaih mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud (marfu’), “Apabila Allah
berbicara dengan wahyu maka penghuni langit (malaikat) mendengarkan bunyi keras
seperti bunyi rantai yang dipukulkan pada lonceng, sehingga mereka terkejut dan
melihat bahwa itu merupakan bagian dari persoalan kiamat.” Hadits ini aslinya
ada di dalam kitab Shahih.
Disebutkan
di dalam tafsir Ali bin Sahal an-Naisaburi bahwa ada sekelompok dari ulama
mengatakan, “Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus pada malam lailatil qadr
dari Lauh Mahfudz ke sebuah tempat yang diberi nama ‘Baitul‘izzah’, kemudian
Jibril menjaganya, dan penduduk langit (malaikat) pingsan karena kehebatan
(kewibawaan) kalam Allah.
Kemudian
Jibril melewati mereka, dan mereka telah sadar, kemudian berkata, ‘Apa yang
dikatakan oleh Rabb kalian?’ Mereka berkata, ‘Al-Haq’ (kebenaran), maksudnya
Al-Qur’an. Itulah makna firman Allah: ‘Hattaa idzaa fuzi’a ‘an quluubihim’ (QS.
Saba’: 23), kemudian Jibril datang membawa Al-Qur’an ke Baitul’izzah, kemudian
membacakan kepada as- safarah al-katabah (malaikat-malaikat), dan inilah maksud
dari firman Allah SWT: ‘Bi aidii safarah, kiraamin bararah’ (QS. ’Abasa:
15-16).”
*****
Sedangkan imam al-Juwaini (w.478H/1085M) mengatakan bahwa kalam Allah yang diturunkan itu ada dua macam:
- Allah berfirman kepada Jibril, “Katakan kepada Nabi (Muhammad) yang kamu diutus kepadanya, ‘Sesungguhnya Allah berfirman: Lakukan ini dan itu, dan Dia memerintahkan (kepadamu) untuk melakukan ini dan itu.’”Maka Jibril memahami apa yang difirmankan oleh Allah kepadanya, kemudian dia turun menemui Nabi dan berkata kepadanya apa yang difirmankan oleh Tuhannya, tetapi ungkapani tu tidak seperti ungkapan (aslinya).
Ini seperti perkataan seorang
raja kepada orang yang ia percaya, “Katakan kepada fulan, ‘Raja telah berkata
kepadamu: bersungguh-sungguhlah dalam berkhidmah dan kumpulkan tentaramu untuk
berperang.’”
Apabila utusan raja tadi berkata, “Raja telah berkata, ‘Janganlah kamu main-main dalam berkhidmah kepadaku dan janganlah kamu membiarkan para prajurit bercerai- berai, perintahkan kepada mereka agar berperang,’” maka perkataan seperti ini tidak termasuk berbohong atau main-main dalam menyampaikan suatu misi.
- Allah berfirman kepada Jibril, “Bacakanlah kitab (Al-Qur’an) ini pada Nabi.” Maka Jibril turun dengan membawa kalimat dari Allah SWT tanpa diubah, seperti seorang raja yang menulis surat dan menyerahkannya kepada sekretaris, dan berkata, “Bacakanlah surat itu pada si Fulan,” maka (sekretaris itu melakukan tugas tersebut) tanpa mengubah satu kalimat atau satu huruf pun dari surat itu.
Menurut Al-Suyuti: Al-Qur’an merupakan bagian atau macam yang kedua, dan bagian atau macam yang kedua adalah Sunah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Jibril itu turun dengan membawa Sunah sebagaimana juga membawa Al-Qur’an.
Karena itu, boleh meriwayatkan hadits dengan maknanya, karena Jibril
menyampaikannya dengan makna, sementara tidak boleh membaca dengan makna,
karena Jibril menyampaikan dengan lafadznya dan tidak diperkenankan kepadanya
untuk mewahyukan dengan makna.
Sebagai rahasia dari itu adalah bahwa maksud dan tujuan dari Al-Qur’an (diturunkan dengan lafadz aslinya) adalah karena dengan melafadzkan Al- Qur’an maka hal itu bernilai ibadah sekaligus mukjizat, sehingga tidak ada seorang pun mampu untuk mendatangkan satu lafadz yang menyamai Al- Qur’an.
Sesungguhnya pada setiap huruf dari Al-Qur’an terdapat makna- makna yang tak dapat dihitung banyaknya, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mendatangkan penggantinya sebagaimana yang dimuat di dalamnya.
Merupakan suatu keringanan bagi umat karena apa yang diturunkan kepada mereka itu ada dua macam:
Pertama, mereka meriwayatkan dengan lafadznya sebagaimana diwahyukan sesuai dengan lafadz itu (yaitu Al-Qur’an).
Kedua, mereka meriwayatkan dengan makna, karena seandainya semuanya harus diriwayatkan dengan lafadznya maka akan berat bagi mereka, atau seandainya harus dengan maknanya saja maka tidak akan aman (terhindar) dari perubahan dan penyimpangan. Karena itu, renungkanlah, dan saya pernah melihat ada perkataan ulama salaf yang menguatkan pendapat Al-Juwaini.
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Uqail, dari az- Zuhri: sesungguhnya ia pernah ditanya tentang wahyu, maka ia berkata, “Wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah kepada seorang nabi, kemudian Allah menetapkan wahyu itu dalam hatinya sehingga ia berbicara dengan wahyu itu dan menulisnya, dan itu adalah kalam Allah.
Di antara wahyu ada yang tidak disampaikan secara lafadznya
dan tidak ditulis untuk seseorang, tidak pula diperintahkan untuk menulisnya,
akan tetapi Nabi menceritakannya pada manusia dan menjelaskan pada mereka bahwa
Allah telah memerintahkan kepadanya untuk menjelaskan dan menyampaikan kepada
mereka.”
Kesimpulan
Imam
al-Ashfahani (w. 502H/1108M) dalam tafsirnya Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān menyatakan bahwa ulama
Ahlusunah sepakat bahwa kalam Allah diturunkan, tetapi berbeda pendapat
mengenai makna "al-inzal."
Sebagian mengatakan bahwa al-inzal berarti menampakkan bacaan, sementara lainnya berpendapat bahwa Allah menyampaikan kalam-Nya kepada Jibril, yang kemudian menurunkannya kepada Nabi Muhammad.
Imam ath-Thiby menjelaskan bahwa turunnya
Al-Qur'an bisa berarti Jibril menerima wahyu secara ruhani atau menghafalkannya
dari Lauh Mahfudz sebelum menyampaikannya kepada Rasulullah.
Imam
al-Qutub ar-Razi menafsirkan al-inzal secara majazi sebagai penetapan
kalam Allah di Lauh Mahfudz sebelum disampaikan kepada Jibril. Pendapat ulama
lain menyebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan secara sekaligus ke Baitul ‘Izzah
sebelum disampaikan secara bertahap kepada Nabi.
Imam
al-Juwaini (w. 478H/1085M) membagi wahyu menjadi dua: pertama, Jibril
menyampaikan perintah Allah dengan redaksinya sendiri; kedua, Jibril membacakan
langsung kalam Allah tanpa perubahan.
Menurut
al-Suyuti, Al-Qur'an termasuk jenis kedua, sementara Sunah termasuk jenis
pertama, sehingga hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya, sedangkan
Al-Qur'an harus dipelihara dalam lafadz aslinya karena mengandung keutamaan
ibadah dan mukjizat.
0 Comments