Masih membahas kitab Al-Itqān fī ʽUlūmil al-Qur’an karya Imam Jalaluddin Al-Suyūṭī (w.911H/1505M). Al-Suyūṭī menjelaskan pendapat para ulama tentang situasi psikologis para nabi ketika Allah swt. menyampaikan wahyu kepada mereka dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut:

1.  Dengan cara malaikat datang seperti suara lonceng (yang keras), sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.

Disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abdullah bin Umar, ia berkata: aku pernah bertanya kepada Nabi saw., “Apakah engkau merasakan datangnya wahyu?” Nabi saw. berkata, “Aku mendengar (seperti) suara lonceng yang keras, kemudian aku diam ketika itu, maka tidaklah setiap kali wahyu datang kepadaku kecuali aku mengira bahwa nyawaku akan diambil.”

Gambar bersumber dari Merdeka.com


Baca: https://rutinia.blogspot.com/2025/03/bagaimana-allah-swt-menurunkan-kitab.html

Imam al-Khathabi berpendapat, maksudnya, suara yang didengar itu tidak dijelaskan sejak awal, hingga akhirnya ia memahaminya. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa suara tersebut adalah getaran sayap Malaikat Jibril. Hikmahnya adalah agar kedatangannya mempersiapkan konsentrasi Nabi untuk menerima wahyu, sehingga tidak ada ruang tersisa selain untuk wahyu.

Di dalam hadits shahih disebutkan bahwa kondisi seperti ini adalah kondisi turunnya wahyu yang paling berat. Disebutkan (dalam sebuah riwayat) bahwa hal yang demikian terjadi apabila turun ayat wa’id (ancaman) dan ayat tahdid (peringatan).

Baca: https://rutinia.blogspot.com/2025/03/tentang-proses-turunnya-al-quran-3.html

2.  Dengan cara malaikat meniupkan (mengembuskan) wahyu itu di hati Rasulullah saw., sebagaimana sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) telah meniupkan (bisikannya) dalam hatiku” (HR. al- Hakim).

Hal ini dikaitkan dengan keadaan awal atau setelahnya, ketika Jibril datang kepada Nabi dengan salah satu dari dua cara dan meniupkan wahyu ke dalam hatinya.

3.  Malaikat Jibril juga datang dalam wujud seorang laki-laki dan menyampaikan wahyu, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. Nabi saw. bersabda, “Kadang malaikat datang kepadaku dalam rupa seorang laki-laki, lalu berbicara kepadaku, dan aku memahami ucapannya.” Dalam riwayat Abu Uwanah, disebutkan bahwa cara ini adalah yang paling ringan bagi Nabi.

     Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw. dalam keadaan tidur. Sebagian ulama memasukkan surat al-Kautsar dalam golongan ini.

     Allah berbicara langsung dengan Nabi saw., baik dalam keadaan Nabi sadar, seperti ketika malam Isra’ Mi’raj maupun ketika sedang tidur, sebagaimana tersebut di dalam hadits Mu’adz sebagai berikut:

“Tuhanku datang kepadaku dan berfirman, ‘Tentang apa ia memperdebatkan al-Mala’ul A’la…’” (Hadis). Namun, sejauh yang aku ketahui, tidak ada hal semacam ini dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, mungkin yang termasuk dalam kategori ini adalah akhir surat al-Baqarah, sebagian surat adh-Dhuha, dan surat Alam Nasyrah.

[yakni, wahyu yang datang langsung dari Allah tanpa perantara Jibril). Beberapa ulama berpendapat bahwa akhir Surah Al-Baqarah, sebagian dari Surah Adh-Dhuha, dan Surah Alam Nasyrah termasuk dalam kategori ini, karena ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat-ayat tersebut diberikan langsung kepada Nabi Muhammad saw. Misalnya, dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah (2:285-286) disebutkan dalam hadits sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi secara langsung dari Allah saat Isra' Mi'raj. Sementara sebagian ulama mengaitkan Surah Adh-Dhuha dan Alam Nasyrah dengan wahyu yang menghibur Nabi ketika mengalami masa sulit, yang mungkin menandakan bentuk wahyu yang lebih langsung].

Baca: https://rutinia.blogspot.com/2025/03/tentang-bagaimana-al-quran-turun.html

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari hadits ‘Adi bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Aku pernah bertanya tentang suatu masalah pada Rabbku (tentang) sesuatu yang sebenarnya aku tidak suka mempertanyakan-Nya. Lalu, aku katakan, ‘Wahai Tuhanku, mengapa Engkau telah mengambil Ibrahim sebagai kekasih, dan (mengapa) pula Engkau telah berbicara (langsung) dengan Musa?’

Maka Allah berfirman, ‘Hai Muhammad, bukankah Aku mendapatkanmu dalam keadaan yatim, lalu Aku beri perlindungan, dan dalam keadaan sesat, lalu Aku berikan petunjuk, dan dalam keadaan fakir, lalu Aku berikan kekayaan (kecukupan), dan Aku telah lapangkan dadamu, dan Aku telah meringankan beban padamu, dan telah Aku angkat kedudukanmu (dengan) menyebut-nyebut kamu, sehingga Aku tidak disebut-sebut kecuali engkau juga disebut-sebut bersama-Ku?’”

Kesimpulan

Ada berbagai cara Allah menyampaikan wahyu kepada para nabi. Pertama, melalui suara lonceng keras yang disebut dalam hadits shahih, yang menurut sebagian ulama adalah getaran sayap Jibril untuk memusatkan perhatian Nabi pada wahyu. 

Kedua, dengan meniupkan wahyu ke dalam hati Nabi, seperti disebutkan dalam hadits bahwa Ruhul Qudus membisikkan dalam hatinya. 

Ketiga, Jibril datang dalam wujud manusia dan berbicara langsung dengan Nabi, yang dianggap cara paling ringan. 

Keempat, wahyu turun saat Nabi tidur, seperti yang dikaitkan dengan surat Al-Kautsar. 

Kelima, Allah berbicara langsung kepada Nabi, baik saat sadar seperti dalam peristiwa Isra’ Mi’raj maupun dalam mimpi, sebagaimana disebut dalam hadits tentang Al-Mala’ul A‘la. Sebagian ulama memasukkan akhir Surah Al-Baqarah, sebagian Surah Adh-Dhuha, dan Surah Alam Nasyrah dalam kategori wahyu langsung tanpa perantara Jibril. 

Hadits lain menyebutkan dialog Nabi dengan Allah mengenai keistimewaan Ibrahim dan Musa, yang dijawab dengan pengingat atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada Nabi Muhammad.